Kategori:
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Peluncuran aplikasi pajak baru yaitu Coretax senilai Rp 1,3 triliun oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 1 Januari 2025, telah memicu keluhan yang marak dari Wajib Pajak (WP).
Media sosial dibanjiri keluhan-keluhan dari Wajib Pajak. Awalnya, kehadiran Coretax ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem administrasi perpajakan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, banyak pengguna melaporkan kesulitan dalam mengakses berbagai fitur penting dalam Coretax, termasuk permintaan sertifikat digital dan pembuatan e-faktur.
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, mengatakan, bukan hanya tentang kegagalan fungsi, Wajib Pajak (WP) juga mengeluhkan edukasi penggunaan Coretax kepada Wajib Pajak yang berbeda dengan implementasi faktualnya.
“Aplikasi Coretax seharga 1,3 triliun rupiah itu bakalan tak ada gunanya,” ujar Rinto Setiyawan, dalam keterangan persnya, Selasa (7/1/2025).
Seperti dikeluhkan oleh salah satu Wajib Pajak dengan nama akun Budi Budi pada Group Facebook Konsultan Pajak.
Budi Budi mengungkapkan bahwa pada saat edukasi, tidak ada penjelasan proses registrasi dari mana ke mana. Hal ini menyebabkan Wajib Pajak kebingungan ketika akan mulai menggunakan Coretax.
Selain itu, ada juga keluhan tentang permintaan sertifikat digital sebagai syarat untuk membuat faktur pajak yang gagal dilayani oleh sistem. Hal ini berakibat menghambat proses bisnis dari Wajib Pajak.
Tentu saja kegagalan layanan Coretax ini merugikan Wajib Pajak. Belum lagi di masa depan, jika ada kekeliruan laporan pajak akibat kegagalan fungsi Coretax ini, ada potensi pihak yang akan disalahkan adalah Wajib Pajak.
Kegagalan fungsi beberapa fitur ini tidak hanya mengganggu proses bisnis para wajib pajak, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap kepatuhan pajak.
Sebab, selama ini, wajah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah negatif di mata masyarakat karena ulah oknum-oknum pegawai pajak.
Dengan adanya masalah ini, berbagai pihak mulai mempertanyakan kualitas implementasi dan perencanaan proyek Coretax.
Erick Karya, seorang pakar IT dari perusahaan teknologi Enygma, mengungkapkan bahwa masalah yang terjadi pada Coretax menunjukkan kurangnya perencanaan yang matang.
“Tanpa master plan, blue print serta pengawalan implementasi yang terdedikasi, maka tidak akan pernah terjadi mekanisme cross-checking yang memadai,” ujar Erick.
Erick menambahkan bahwa pendekatan implementasi ‘big bang’ tanpa pengujian aplikasi yang memadai akan memperbesar risiko kegagalan.
“Hal ini terlihat jelas dengan terhentinya aktivitas penting seperti pembuatan faktur pajak, yang seharusnya berjalan lancar dalam sistem perpajakan modern. Tapi faktanya justru system gagal melayani,” tuturnya.
Lebih lanjut, Erick menyatakan bahwa dalam sistem berskala besar seperti Coretax, kualitas implementasi harus menjadi prioritas utama.
“Sayangnya, rangkaian pekerjaan dalam proyek ini tampaknya miskin kegiatan pemastian kualitas, baik dari sisi desain sistem, pendekatan pengembangan, maupun kegiatan pengawasannya,” tegasnya.
Hal ini menandakan perlunya reformasi mendasar dalam pendekatan perencanaan dan eksekusi proyek teknologi pemerintah.
Untuk mencegah kegagalan serupa di masa depan, Erick menekankan pentingnya kerangka kerja yang terukur, melibatkan audit independen yang komprehensif, dan uji coba bertahap guna memastikan setiap komponen sistem dapat berfungsi dengan baik sebelum diluncurkan secara penuh.
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyampaikan keprihatinan serupa terhadap aplikasi Coretax.
Ia menegaskan bahwa meskipun proyek ini melibatkan nama-nama besar sebagai konsultan dan pengembang, permasalahan yang ada berakar dari tidak adanya masterplan dan blueprint yang dirancang secara matang sebelum proyek dimulai.
“Seperti diketahui, proses pengadaan Coretax menunjuk PwC sebagai salah satu panitia tender dan LG CNS sebagai pemenang, serta Deloitte Consulting sebagai pengawas. Namun, sampai hari keenam implementasi, banyak pengguna merasa frustrasi karena aplikasi tersebut justru mengganggu proses bisnis mereka,” tutur Rinto Setiyawan.
Di media sosial, banyak pengguna mengeluhkan kesulitan dalam login dan kendala saat meng-upload faktur pada sistem Coretax.
Beberapa pengguna bahkan mempertanyakan apakah pemerintah akan bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami akibat ketidakmampuan aplikasi dalam menjalankan fungsi dasar perpajakan.
Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya sistem belum siap diimplementasikan, tapi Dirjen Pajak (DJP) terkesan memaksakan. Kondisi menunjukkan betapa pentingnya tata kelola proyek teknologi informasi dalam sektor publik.
Kegagalan implementasi Coretax bukan hanya berdampak pada Wajib Pajak, tetapi juga pada reputasi pemerintah dalam inovasi dan pelayanan publik.
“Maka dari itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek teknologi pemerintah agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Jika tidak ditangani dengan serius, masalah ini bisa menghambat upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memperbaiki pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan,” pungkas Rinto.
Melihat semua keluhan dan tantangan yang muncul pasca peluncuran Coretax ini, IWPI berharap agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki situasi dan memastikan bahwa aplikasi pajak ini benar-benar dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait.
Tanpa adanya master plan yang jelas dan pelaksanaan yang transparan serta akuntabel, investasi sebesar 1,3 triliun rupiah dalam aplikasi pajak ini bisa dianggap sia-sia jika tidak mampu memenuhi harapan masyarakat dan tujuan awalnya.(RED)
Kategori: